![]() |
SURYA.co.id/Hayu Yudha Prabowo |
Istilah milenial mungkin sudah tidak asing lagi terdengar di telinga. Seiring berjalannya waktu, bukan hanya istilah milenial saja yang akrab didengar, namun juga perkembangan kosakata-kosakata yang kerap diucapkan individu milenial itu sendiri.
Kosakata yang tercipta dari generasi milenial memang tidak tertulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tapi, entah bagaimana caranya, kosakata-kosakata itu seakan menjadi pelengkap dari bahasa yang kita gunakan sehari-hari. Tidak monoton, meskipun keluar dari jalurnya.
Menariknya, kosakata yang tercipta dan dilontarkan generasi milenial ini mampu menjadikan komunikasi lebih santai, akrab dan cair. Sekali lagi tidak monoton.
Kita sudah sering mendengar kata 'Mager', akronim dari kalimat malas gerak. Kemudian ada juga 'Baper' alias bawa perasaan. Lalu juga 'Mantul' singkatan dari mantap betul. Dan banyak lagi kosakata lain yang didengungkan milenial.
Tidak bisa dipungkiri, kosakata-kosakata yang tercipta seiring tumbuh berkembangnya generasi milenial juga membawa dampak di kehidupan bermasyarakat. Demonstrasi mahasiswa di penjuru Nusantara beberapa waktu lalu sebagai contohnya. Bukan hanya orasi, mereka pun mengusung spanduk-spanduk yang berbau sangat milenial dengan aneka ragam kosakatanya.
Kosakata yang dituliskan para pendemo itu seakan menjadi penghibur di tengah situasi demo yang biasanya selalu terkesan serius dan tegang. Percaya atau tidak, kalimat-kalimat akronim yang tertulis di spanduk para pendemo milenial itupun sedikitnya dapat meredam suasana di tengah panasnya aksi.
Dari situ pun bisa diibaratkan bahwa demo yang dulunya terkesan tegang dan rusuh, telah dimentahkan oleh generasi milenial. Stigma negatif dirubah menjadi kreatif oleh para milenial. Meskipun masih ada saja sejumlah oknum yang menyusupi aksi demonstrasi dan membuat situasi kacau.
Bukan hanya saat aksi demonstrasi, kosakata yang milenial ciptakan juga mampu membawa pergerakan yang luar biasa. Melalui kekuatan media sosial, mereka bergerak serentak dan secara acak melakukan aksi demonstrasi. Itu artinya, kosakata atau bahasa yang diciptakan generasi milenial juga mampu membawa persatuan yang luar biasa.
Sayangnya, perkembangan kosakata yang tercipta seiring tumbuhnya generasi milenial juga tidak selalu membawa dampak positif. Lama-kelamaan, kosakata yang sudah akrab diucapkan itu bisa saja menggantikan peran bahasa Indonesia yang baku, sesuai norma, adat istiadat dan tata krama.
Mengenai persatuan sendiri, bahasa juga bukan hanya sebatas mempersatukan pada koridor demonstrasi. Lebih dari itu, Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan memiliki peran yang sangat besar di kehidupan kita sehari-hari.
Seperti diketahui, Indonesia menjadi negara keempat terbesar di dunia dengan populasi penduduk mencapai 268 juta jiwa. Populasi penduduk yang begitu besarnya, Indonesia memiliki ratusan ragam bahasa daerah. Belum ada angka yang valid mengenai jumlah bahasa di Indonesia. Tetapi setidaknya, menurut data Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2018 lalu, ada 652 bahasa yang sudah dipetakkan dan diverifikasi.
Melihat kondisi tersebut, bahasa yang digunakan masing-masing individu juga berbeda sesuai latar belakang daerahnya. Namun, situasi itu bisa berubah drastis saat kita, misalnya, berada di perantauan ataupun kegiatan kenegaraan.
Kita bisa contohkan, ada seorang mahasiswa asal Sunda yang menempuh pendidikan di Kota Malang. Di Malang, masyarakatnya terbiasa menggunakan bahasa Jawa untuk komunikasi sehari-hari. Tentu, mahasiswa tersebut tidak akan berbicara dengan bahasa Sunda saat berkomunikasi dengan orang Malang yang sehari-hari menggunakan bahasa Jawa. Disitu pun akhirnya bahasa Indonesia menunjukkan perannya sebagai bahasa persatuan untuk komunikasi penduduk antar daerah.
Kembali ke bahasa milenial. Setidaknya bahasa ini juga sudah mendapat tempat di kehidupan masyarakat. Suka tidak suka, bahasa ini yang akan sering kita dengar sekarang. Setidaknya sebelum generasi selanjutnya menemukan lebih banyak lagi kosakata-kosakata baru.
Meskipun keluar dari jalur, bahasa milenial memang memiliki dampak positif dan juga negatif. Namun selama itu tidak mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara, seharusnya kita bisa menerimanya.